Sabtu, 18 Januari 2014

Journey Part 5


Karena mimpi Ratih tentang seorang lelaki yang bersama kami menyelesaikan perjalanan, tanpa sadar kami selalu mencari sosok itu sejak akan berangkat memulai perjalanan ini. Saat di Penang pun, ketika bertemu Bule ‘Love Lane’, kami sempat berpikir. Mungkin dialah, tapi tampaknya bukan. Di kereta menuju Bangkok kami bertemu seorang laki-laki Indonesia baik hati yang cunihin, rasanya bukan dia juga. Kami pun satu kereta dengan ‘Tong Caii’, remaja Thailand yang wajahnya seperti salah satu personil di boyband Korea. Bukanjuga.
Akhirnya, di sebuah perjalanan dengan Bus 53 di Bangkok, saya pun menyampaikan ini kepada Ratih. ‘Mungkin.. mimpi itu hanya sebagai penyemangat kita saja, lucu-lucuan aja, karena mungkin si lelaki dalam mimpi itu sebenarnya tidak ada’. Sekilas kulihat tatapan Ratih, sejenak tak mau menyerah untuk percaya bahwa mungkin orang itu benar-benar ada. Aku termasuk cukup percaya dengan mimpi-mimpi yang hadir dalam tidurku, tapi kali ini, saya tidak mau kami terlalu lama menebak. Sikap pesimis mulai muncul seiring pertumbuhan beberapa sariawan. Sedikit menganggu saat makan, tapi dampak terbesarnya adalah saya tidak bisa senyum selebar biasanya. Pesimis dan sariawan itu memang sesekali perlu hadir untuk mengingatkan betapa senyum itu adalah energi positif yang bisa mengundang sikap optimis :)

Hari kedua di Bangkok, kami sempatkan berjalan-jalan ke Grand Palace. Karena berbayar dan mahal, jadi kami hanya bisa masuk sampai di pelataran saja. berfoto di tempat yang bisa di foto, dan menggoda pak ‘polisi’ yang menjaga Grand Palace. Para polisi itu setuju saja ketika kami mengajak berfoto. Hahahahaa… kalo di Indonesia, gak pernah kayak gini. Setelah itu kami pun berniat menyeberang ke Wat Arun, tapi akhirnya memutar menuju stasiun Hua Lam Pong karena berpikir bahwa mendingan kami menuju ‘Ram Kham Heng University’ sesuai petunjuk muslimah bercadar yang kutemui di stasiun kemarin.
Sangat bersyukur ada Ratih dalam perjalanan ini. Dia sangat well prepare. Untuk ke suatu tempat dia akan melakukan ‘investigasi’ terlebih dahulu. Syukurnya hapeku yang agak ‘smart’ masih bisa diajak berinternet dengan memanfaatkan wifi di penginapan. Dia mencari jalur bus menuju kesana, dan beberapa hal yang bisa membantu kami untuk tidak kesasar. Aku adalah tipe yang menganut ajaran ‘sesat dijalan, maka bertanyalah’ hehehe… namun untuk perjalanan ke Ram Kam Heng ini cukup melankolis. Kami sudah mempersiapkan akan naik bus No sekian, tapi sesampainya di stasiun ternyata ada bus lain yang melawati kawasan itu. Yang kurang dipertimbangkan oleh kami adalah jarak penginapan kami dan ram kham heng itu. Bagi yang pernah ke Bandung, anggap saja jaraknya adalah dari Dago- Kopo saat macet (info ini kami dapatkan setelah melihat peta di kampus itu dan setelah melalui prjalanan panjang untuk kesana).
Sepanjang perjalanan, Ratih sempat bertanya kepada seorang pemuda, sayangnya kurang paham bahasa Inggris. Dia hanya menyebutkan MBK (semacam mall gitulah), yang menurut Ratih MBK itu akan kami lewati saat ke Ram Kham Heng. Syukurnya petunjuk jalan cukup baik di Bangkok ini, sehingga ketika kami melihat papan yang mengarah ke Ram Kham Heng, kami pun menjadi tenang. Kami bingung akan turun dimana, pandang-pandangan… menggunakan intuisi kami untuk akhirnya sepakat di daerah mana akan turun. Kami turun di tempat yang memang tidak terlalu jauh dari tujuan, tapi sulitnya adalah hampir sebagian orang yang kami tanyai tentang ‘ram kham heng university’ hanya menatap kami bingung. Kami pun menyederhanakan pertanyaan dengan menyebutkan ram kham heng saja, mereka mengiyakan. Alhamdulillah. University bukan kata yang populer disini, kami bingung dan tidak menemukan petunjuk.
Saat itulah kami melewati sebuah warung makan, muslim food. Halal. Kami menimbang dan berpikir apakah akan makan skrg atau setelah dari kampus itu. Sepakat untuk makan dulu, dan kami mulai diserang oleh pertanyaan pelayan dalam bahasa Thai. Disodori menu yang bertuliskan huruf Thai, kami memberi isyarat dan menyampaikan dalam bahasa Inggris. Mereka pun paham dan mengambil menu lain. hatiku sejuk melihat si ibu penjual yang jilbab dan suaminya yang berjenggot. Seketika merasa kami bukan minoritas lagi. Di warung ini pula, saya bertemu dengan ‘Tom Yam’, makanan yang membuat saya jatuh cinta akan Thailand. Rasa asam mengingatkan saya akan makanan khas di Sulawesi. Meskipun sariawan sedang menyerang, saat si Tom Yam muncul dan mulai menyentuh lidah saya, rasanya seperti apa ya… seperti berada di rumah, di peluk oleh keluarga, seolah seluruh elemen dalam tom yam itu bernyanyi dan menggelitik hati saya. Saya pun sumringah. Pertama kali makan makanan ini di Bandung, saat ulang tahun seorang dosen di resto Thailand. Dan hari ini saya memakannya di tempat asal, nikmatnya J harganya 80 Bath, sekitar Rp. 30.000, Kop Kun Kaa…

Setelah makan, kami pun bertanya lagi tentang kampus itu, seorang ibu akhirnya memahami bahasa kami dan menyampaikan ‘cross the road’. Dari tempat itu kami langsung menyeberang jembatan penyeberangan, dan mulai mencari target untuk bertanya. Setelah sekian kali bertanya, akhirnya ada seorang remaja yang kami tanya, dia memahami arti kata university dan saat itu kami tepat berada di depan kampus. Dengan ragu kami masuk, membayangkan bahwa di kampus pastinya akan banyak mahasiswa yang paham bahasa Inggris. Kami keliru, beberapa mahasiswa yang kami temui di taman tidak memahami bahasa Inggris sederhana yang kami gunakan. ‘Muslim, mosque… pray place for muslim, like WAT, Temple… lallalalalallala…’ mereka tak mengerti. Kami memberanikan diri masuk dalam satu gedung, ada seorang nenek yang sedang menunggu lift. Saya nekat bertanya, dia tak paham tapi dia mencoba membantu. Kami diarahkan ke suatu ruangan.. mungkin seperti ruang admnistrasi atau tata usaha. Penuh dengan ibu-ibu dan perempuan muda, mereka berbicara Dalam bahasa Thai, kami hanya memegang jilbab kami. Seorang ibu mencoba berbicara, yang kluar hanyalah bahasa Thai. Kami coba untuk menuliskan MOSQUE. Mereka geleng-geleng kepala. Mereka pun menyerah dan akhirnya salah seoorang ibu menunjukkan gedung lain. ahhh, berarti musholahya disitu, pikir kami.

Ternyata kami dipertemukan dengan 2 orang security (lelaki dan perempuan), ‘no english’ katanya. Dan kami pun mengulang pertanyaan kami seraya memegang jilbab. Ratih pun berbisik ‘kita pulang aja k…’, saya masih ingin bertahan ‘1 orang lagi lah..’. akhirnya 2 security itu memanggil seorang laki-laki yang sedari tadi duduk menelpon. Lelaki ini menutup telponnya dan akhirnya terlibat pembicaraan dengan 2 security. Lelaki ini hanya bisa yes dan no dalam bahasa Inggris. Tapi masya Allah hatinya seputih kulitnya, dari lelaki Thai inilaih kami diantar berjalan hampir 2 KM mungkin untuk mencapai ‘Mosque’ yang kami inginkan. Jalannya cepat, kami berusaha mengimbangi, saat itu jam 1 siang dan keringat sudah terlihat menderas dari dahinya.kami tak enak hati, berusaha untuk menyampaikan bahwa  kami saja yang jalan terus. Dia hanya memberi isyarat ‘terus… teruss…’. Setiap bertemu orang, dia mampir untk bertanya. Melalui jalan yang panjang, taman, melewati beberapa gedung, dan akhirnya naik ke lantai 2 suatu gedung. Kami mulai melihat siluet mahasiswa berkerudung. Lelaki ini tak berhenti hingga sampai di depan ‘musholla’, sampai menunjukkan tempat sholat dan mempersilahkan kami masuk. Kami tak enak hati, rasanya ucapan terimakasih kami terlalu banyak untuk orang ini. Berulang kali kami mengucapkan ‘Kop Kun Kaa’ dan membungkuk untuk memberi hormat. Kamipun mengajaknya berfoto untuk mengingat wajah orang baik ini.
Sholat disini adalah salah satu Sholat terindah dalam perjalanan kami :)

Kami dikelilingi oleh muslimah berjilbab. Sayangnya mereka sulit berbahasa Inggris, tetapi mereka bisa sedikit berbahasa Melayu. Tanpa disangka, kami diundang oleh beberapa muslimah itu. Ternyata musholla ini adalah bagian dari MUSLIM STUDENT CLUB dari Ram kham Heng University. Gedung khusus  ini untuk berbagai organisasi kampus, salah satunya adalah perkumpulan muslim ini.

Saya jadi teringat beberapa tulisan di buku dan majalah tentang ketika seorang wartawan atau jurnalis ke suatu negara, muslim disana akan menyambut dan menjamu. Rasa persaudaraaan itu sangat terasa, kami baru bertemu beberapa menit, namun tawa kami sudah menyatu. Kami dijamu dengan minuman dan cemilan. Mereka bercerita tentang Muslim Patani (sebagian besar muslim berasal dari sana). Mereka pun mengundang kami untuk menguunjungi Patani pada kunjungan ke Bangkok berikutnya. Belasan jam menggunakan kereta atau bus dari Bangkok. Mereka pun akhirnya mencari info tentang tujuan kami berikutnya, dari kampus ini kami berencana mampir ke MBK dan Siam Square, ada madame Tussaud disana dan Ratih ingin kesana. MBK mungkin bisa menjadi tempat kami membeli oleh-oleh. Mereka tidak familiar dengan tempat tersebut (mgk memang mahasiswa yang jarang main ke mall), bahkan Grand palace mereka pun tak tau. Khao San Road juga. Mereka pun akhirnya mencari dip eta google, dan kami pun sontak kaget menyadari betapa jauh jarak kampus ini dengan Khao San Road hahahahahhaa….

5 menit sebelum kami pergi, tiba-tiba seseorang masuk. Tampangnya seperti orang Jawa, ternyata inilah si Ketua Muslim Student Club Kampus ini. Dia pun tersenyum ramah dan menunjukkan antusiasme saat mengetahui kami dari Indonesia. Dia asli orang Phuket Thailand, bisa berbahasa Melayu, Sedikit bahasa Inggris dan sedang belajar bahasa Indonesia dari kamus hitam tebal yang ditunjukannya pada kami. Dia menyebutkan 2 tokoh politik islam yang terkenal di Indonesia. Dia ingin melanjutkan kuliah lagi di Indonesia, itu adalah salah satu cita-citanya . tanpa disangka, saat kami ingin pulang diapun berniat untuk mengantarkan ke depan, bahkan sampai MBK. Dan dia akan mengajak kami melalui transportasi sungai yang sebenarnya menjadi salah satu tujuan kami hari ini.

Sesaat sebelum meninggalkan MSC ini, seolah ada bisikan. Kesadaranku menyatu, mengingat sesuatu entah apa. Lelaki ini… ahaaaaaa… lelaki dalam mimpi itu kah? Akupun membisikan Sesuatu ke Ratih…’Tih… orang ini, orang ini’. Ratih bingung. Kutegaskan… ‘orang dalam mimpi’. Hhahhaha… kami pun sontak tertawa, dan sekilas kulihat mata ratih membulat, tatapannya bersemangat, adrenalinnya meningkat. Like dreams come true :D
Sepanjang jalan bersama si Ketua ini, kami hanya tersenyum membayangkan betapa panjang perjalanan untuk bertemuu dengan orang ini. TUhan seperti mengirimkan seorang ‘guide’. Saat bersama orang ini kami hanya perlu menyebutkan tujuan kami, dan dia akan sibuk untuk bertanya dan mencari. Menyeberang jalan pun diseberangin. Seolah menemukan saudara lama yang sangat baik. dia pula yang membayar perahu, memberikan penjelasan, menawarkan teh, memberi informasi dan akhirnya membawa kami ke salah satu warung makanan muslim di dekat stasiun. Sebagai seorang aktivis yang sibuk, hari itu dia pun ada acara di sore hari. Kami tak enak hati jika tak mengajaknya makan sebagai ucapan terimakasih dan akhirnya acara itu pun tampaknya di cancel setelah dia sibuk telpon sana-sini.

Awalnya hanya mengantar ke MBK dan Siam Square, tapi dia meminta untuk mengantar sampai stasiun. Kami banyak bercerita saat makan, rasanya memang sudah seperti kenalan lama. Dia berjanji untuk datang d stasiun untuk mengantar kami berangkat, tapi itu masih liat besok katanya. Kami sepakat berpisah di stasiun dan melanjutkan perjalanan dengan Bus 53, kami melihatnya berdiri mematung di ujung jalan saat kami bergegas menaiki bus. Rasanya seperti ditinggalkan sahabat, berat tapi kami masih berharap bertemu dia esoknya. Kusampaikan pada Ratih…. ‘sebenarnya, ada 2 kemungkinan… dia adalah orang yang dihadirkan untuk membantu kita, atau kita yang dtg kesiini untuk nantinya membantu dia saat di Indonesia’. Kami pun larut dengan pikiran masing-masiing, menyusun potongan perjalanan hari ini yang penuh hikmah.

Dalam perjalanan pulang, kami pun akhirnya merasakan suasana politik di Thailand yang sedang memanas. Demonstrasi d ujung jalan membuat macet dan bus 53 kami berputar arah sehingga kami terpaksa harus berjalan jauh untuk mencapai penginapan. Kelelahan itu menumpuk dengan rasa lapar. Setelah beristirahat sejenak dipenginapan, kami pun memutuskan untuk makan dan melakukan perpisahan dengan ‘roti mataba’. Aku melahap 2 porsi roti dan segelas thai tea. Nikmatnya. Setelah itu, mengunjungi toko buku itu, kami ingin berlama-lama di sana malam ini. Memandangi ribuan buku, mengintip berbagai macam bahasa disitu, menimbang-nimbang buku mana yang akan dibeli. Empunya toko ternyata memperhatikan kami sejak kemarin, dia langsung menghampiriku dan menyampaikan ‘tell me what book you want, maybe I can help’… aku tersenyum dan akhirnya nanya balik ‘what time you close?’ karena aku sebenarnya bingung mencari buku apa. ‘never mind, just enjoy’ katanya… akhirnya aku bilang mencari si Alchemist, karena 2 hari ini aku tak melihat buku itu. Dia pun langsung ke depan, mengambil buku yang dipajang di depan (padahal tadi cukup lama berdiri di depan), jreng jreng… dan langsung memberiku si Alchemist. Akupun tergoda untuk membeli.

Sudah jam 10 lewat, kami belum meninggalkan toko buku itu. Si bapak masih hilir mudik, istrinya mulai mematikan beberapa lampu. Bapaknya seolah mengatakan, gpp… jangan pergi dulu. Akhirnya dia pun menghampiri kami lagi, bertanya apakah kami mahasiswa, kenapa kami tertarik dengan buku. Akhirnya kami pun terlibat percakapan tentang buku. Saya pun bertanya tentang foto dan lukisan raja yang ada dimana-mana di sepanjang jalan, politik, merah dan kuning, dan mulailah bapak itu ‘curhat’ tentang kondisi Thailand, politik dan pendidikan. Menjual buku adalah caranya untuk mencerdaskan bangsanya. Tak lupa dia berpesan, banyak-banyalah belajar, improve your English.. dan kalau ke Bangkok lagi datanglah kesini :)


Akhirnya aku membeli The Alchemist.
Ratih awalnya mau membeli Lonely Planet ‘Kuala Lumpur-Malaysia’, tapi karena harganya lebih mahal, beralih membeli salah satu novel yang ia sukai. Hal ini membuatnya gundah gulana hingga kami sampai di penginapan.
Pesan Ratih sebelum tidur, kira-kira seperti ini: Jangan membeli sesuatu untuk tujuan ‘mengganti’ dengan sesuatu yang benar-benar kamu inginkan, karena rasanya gak enak.
Saya pun mengartikan secara berbeda: Jangan mencari cinta lain, saat kamu merasa ingin menyerah untuk cinta yang kamu perjuangkan. Lho* :p

1 komentar:

  1. Waah... K via masih ingatt kata-kata itu... bagus tuh dijadikan quote... hahaha

    BalasHapus