Senin, 20 Oktober 2014

Harapan Baru, Yeayyyyyy :)

Salam.
Wuaaahhh, lama banget gak ngeblog lagi.

Perjalanan takdir dan nasib begitu memikat, hehe... baru kemarin mengelilingi Malaysia dan Thailand, kembali ke Bandung... dan sekarang, kembali pulang... back to Makassar.
Disinilah saya sekarang, new home, new hope, new love . kerjaan sih masih sama, hanya pindah ke kantor cabang hehehe :)
Banyak yang berubah. status sebagai istri dari Abdul Rasyid yang bekerja diujung timur Indonesia, Merauke. membuat begitu banyak penyesuaian yang harus dilakukan, tetapi Masya Allah, ada rasa nyaman dan bahagia yang membawa harapan baru, seperti menjalani sesuatu yang telah dinanti sekaligus menjadi kekhawatiran selama ini. Welcome to the university of life... :)

Ngutip kata Nelson Mandela: it always seems impossible until its done

Senin, 24 Februari 2014

Persahabatan kami pun Putus :D



Saat kecil, aku pernah melihara kucing. Kucing kampung yang senang sekali ketika dikasih makan, hingga akhirnya dia selalu muncul saat makan tiba. Aku ngotot ingin memelihara, tapi apalah daya… orang rumah tidak mengizinkan dan si kucing akhirnya diusir, diasingkan. Awalnya karena diasingkan ke desa sebelah, dia masih pulang. Dia ingat jalan untuk kembali ke rumah, namun akhirnya… kisahku dan si kucing berakhir setelah orang rumah membuangnya ke pulau seberang lautan. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi.
Pernah juga, bapakku memelihara burung. Burung yang warna merah dan bisa niruin ucapan orang. Burung Beo kali ya namanya? Yang kuingat, suatu hari dia mati. Dan dengan sangat sedih aku bersama seorang saudaraku yang lain menguburnya di pantai.

Saat usiaku belasan, aku pun bersahabat lagi dengan seekor kambing. Kambing jantan yang jadi salah satu dari sejumlah kambing peliharan nenekku. Meskipun baunya agak aneh… tapi si kambing sangat setia menunggu makanan dan sejauh apapun dia berada, ketika kupanggil dia  akan langsung datang di pintu belakang. Dan kisah kami pun berakhir, saat ada acara pemotongan hewan. Dia menjadi salah satu korban untuk menjadi santapan keluarga besar saat aqiqah salah satu sepupuku. Aku sempat menitikkan air mata di rumah tetangga, tidak berani untuk sekedar mengintip saat suaranya mengembik panjang. Dan kisahku dengan si kambing pun berakhir.

Akupun tak pernah lagi, memperlakukan hewan hewan itu sebagai sahabat. Hingga suatu hari saat aku kuliah di Bandung. Salah seorang teman menceritakan hewan kura-kura piaraannya. Dia pun mulai ‘menghasutku’. Aku tergoda. Tapi kura-kura bukan pilihanku. Untuk mengobati kerinduan akan laut dan ikan di Sulawesi, akhirnya akupun memelihara ikan. Alhamdulillah, persahabatan kami cukup lama meskipun membutuhkan beberapa korban ikan kecil yang mati karena pencahayaan yang kurang baik. agak pandai sedikit, akhirnya mereka kupindahkan di ruang tengah, berhasil. Dan si ikan ku yang bertahan itu perlahan mulai membesar. Di suatu sore yang indah, persahabatan kami pun kandas. Dia mati saat bermain lompat-lompatan. Kolam yang kecil dengan air yang hampir penuh membuatnya salah prediksi dan melompat terlalu tinggi dengan kemiringan yang tidak sempurna, sehingga dia terjerembab di lantai. Mengenaskan, aku tidak bisa membayangkan detik-detik terakhir saat ajal menjemputnya. Aku hanya bertemu jasadnya yang telah dikerubungi semut. Sejak saat itu aku berhenti untuk memelihara ikan.

Waktu berjalan terus, hingga akhirnya aku pindah kamar ke lantai 3 kosanku di Bandung. Disanalah bersarang beberapa hewan yang pun menjadi sahabatku. Tikus dan kecoa. Tikus kecil yang lincah berlari, dan para kecoa yang pantang menyerah. Kami sudah berkenalan saat aku tinggal di lantai 1, namun aku tidak mau beinteraksi banyak. aku hanya sedikit menggerutu saat mendapati makananku yang dimakan, atau tai-tai tikus itu memenuhi dapurku. 

Kami pun mulai berteman. Aku enjoy dengan keberadaan mereka, meskipun aku sering ingin murka dengan perilaku mereka yang kadang tidak sopan. Apalagi jika sahabat-sahabat manusiaku datang berkunjung, ada-ada saja tingkahnya. Mengintip, meloncat kesana-kemari. Akupun malu. Belum lagi saat sahabat-sahabat manusiaku mengomentari betapa ‘bau’ nya lantai 3 ku karena ulah mereka. aku tidak ingin mengusir ataupun membunuh mereka. aku jijik jika harus melihat mayat mereka. aku tak sanggup. Hingga suatu hari, setelah perdebatan yang panjang dengan sahabat manusiaku tentang kesehatan dan kebersihan, setelah tragedy mereka menghabiskan makananku, mengotori banyak tempat di kamarku. Akupun mulai sedikit demi sedikit membenci mereka. tak suka dengan baunya. Seorang sahabat manusiaku berinisiatif membeli lem khusus untuk menangkap mereka. 4 tikus tertangkap, 1 nya kabur. Aku geli melihat mereka tertangkap dan temanku inilah yang membungkusnya untuk kemudian kubuang ditempat sampah. Aku merasa agak sadis.

Dengan kesadaran penuh, akhirnya kubersihkan lantai tigaku. Mereka pun sudah malu-malu untuk menampakkan diri. Kali kedua, kami coba menjebak lagi dengan lem… sayang sekali kupikir 1 tikus yang lolos itu telah memberikan pelatihan kepada teman-temannya agar terhindar dari perangkapku.
Disinilah, akupun berhenti untuk bersahabat dengan tikus dan kecoa, meskipun bukan berarti aku memusuhi mereka. aku mulai rutin membersihkan lantai 3 ku, agar mereka merasa malu untuk sekedar berbagi tempat tinggal bersamaku :D

Sabtu, 25 Januari 2014

Journey Part 7



Aku pulaaaaaang, tanpa dendaaaam…
Kuterima kekalahanku,
Kau ajarkan aku bahagia, Kau ajarkan aku derita..
Kau tunjukan aku bahagia, Kau tunjukkan aku derita..
(Sheila on 7)
 Bahagia itu datangnya sepaket dengan derita… seperti ungkapan di sebuah film. Perjalanan kami ditutup dengan sebuah perisitiwa yang ‘nyesek’ banget saat itu. Tampak sederhana sebenarnya, tapi memberi kesan yang mendalam. Seperti saat kita ‘ngidam’ rujak, menyimpan atau dengan sengaja menyisakan buah mangga di akhir dan seketika ada seseorang yang mengambil dan memakannya. Nyesek, nyelekit… dan seolah mangga itu adalah mangga terakhir yang ada di dunia ini. Hahahahhaa, lebay.

Perjalanan pulang ini membuat kami sadar, bahwa waktu ini memang sudah akan berakhir. Uang menipis, lelah, belum mandi, dan waktu yang tersisa membuat kami sibuk berpikir akan dihabiskan dengan bagaimana waktu sebelum kami berangkat ke Bandara. Akhirnya sesampainya kami di KL sentral, menyimpan barang, batal mandi karena biayanya cukup mahal (5 RM kalo gak salah, sekitar 20.000), berjalan mencari masjid jameek dan masjid India, ‘kesasar’ ke dataran merdeka berkat petunjuk seseorang yang kami temui di depan pagar masjid. Oiya, yang berbeda dengan Indonesia… masjid disini dibuka pada jam tertentu saja, jadi jangan berharap untuk bisa tidur di masjid atau bersantai diluar jam buka. Untuk yang ingin sholat duha malah jadi susah, di KL sentral saja musholla ditutup jam 7 pagi.

Balik ke dataran merdeka, tempat ini cukup menarik. Banyak gedung tua dengan kubah menarik, perpustakaan besar, dan museum khusus ‘gratis’ untuk melihat miniatur KL. Brosur dan peta pun gratis disini, Ratih sangat antusias dan akhirnya mengumpulkan berbagai brosur dan buku gratis untuk mengobati si lonely planet yang ada di Bangkok sana :D perpisahan dengan KL ini ditandai dengan makan di KFC KL central, ini pertama kali kami makan di resto fast food. Menghabiskan uang dan menikmati makanan itu suap demi suap, nikmat sekali. Hingga tiba saatnya kami harus berjalan menuju Aero Bus yang akan membawa kami ke bandara. Waktu berjalan sangat cepat rasanya… minggu kemarin kami di KL sentral ini dan hari ini disini untuk kembali pulang. 

Sepanjang perjalanan di bus, saya dan Ratih lebih banyak diam. Bukan lelah, mungkin kami sedih dan mulai merunut kembali perjalanan kami seminggu ini. 

Saya pun mulai berpikir, kenapa saya disini. Kenapa harus Malaysia yang menjadi tempat pertama yang saya kunjungi. Suara musik di Radio pun melantunkan sebuah lagu, lagu yang sangat saya kenal dan sering saya dengar 10 tahun yang lalu…

… Isabella adalah, kisah cinta dua dunia…
Mengapa kita berjumpa, namun akhirnya terpisah…’
Siang jadi hilang, ditelan kegelapan malam…
Alam yang terpisah,melenyapkan sebuah kisah…

Lagu ini membawa saya menyebrangi selat karimata, menuju laut Jawa, melewati laut Bali, Laut Flores dan sampai ke laut Banda. Di sana, di selatan Sulawesi Tenggara, di pulau saya, pulau Kabaena.. sejak kecil saya mendengarkan lagu ini dan masih banyak lagu Malaysia lainnya… mengingatkan saya pada keluarga dan teman-teman disana. Sejak mulai bekerja dan ‘tugas luar’ kota, saya seperti selalu membawa mereka bersama saya, mengunjungi berbagai tempat dan menemui beragam orang… hati saya seketika ngilu dalam perjalanan sore itu. 

Pulang, kembali ke Realitas. Pulang untuk melanjutkan rutinitas. 

Pulang, bagaimanapun ia selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan sekaligus mengkhawatirkan, seperti akan MATI saja… kita kembali ke kekekalan dan sekaligus khawatir sudah cukupkah perbekalan kita. 

Hari pertama di Penang, seorang tante yang tau bahwa saya sedang di Malaysia. Tiba-tiba menepon, saya khawatir. Kabar apakah yang akan saya terima. Deg-degan tapi saya tidak mengangkat telepon Karena biaya roaming yang cukup mahal. Akhirnya saya sms saja, bertanya ada apa dan memberikan penjelasan kenapa saya tidak mengangkat telepon. Cemas menunggu balasan, dan sms jawaban dari tante membuat saya menarik napas panjang. 

Katanya, handbody (lotion) dimalaysia bagus-bagus, belikan untuk saya,…’
Uffhhh, lega sekaligus pengen ketawa. Udah cemas, ternyata beliau pengen pesan handbody alias lotion. Akhirnya saat itu saya berjanji untuk membelikan. Saat nemu wifi, akhirnya saya langsung menghubungi kawan di Malaysia tentang si lotion, dia pun bingung. Janji lotion itu saya bawa ke Bangkok, hingga akhirnya menyisakan uang untuk membeli lotion saat kembali ke KL. Dan sebelum berangkat akhirnya kami keliling ke daerah pasar seni mencari lotion, nihil. Lanjut ke petaling street, gak ada. Setelah tanya ke orang, kami akhirnya diarahkan ke suatu swalayan (semacam hypermart), disana bertemulah dengan lotion itu.. banyak pilihan dan saya memang mencari lotion local produksi Malaysia. Kalo gak salah, mereknya aisyah. Beli langsung 6 biji, bisa di bagi untuk mama, tante dan adek-adek. Di awal kami sempat memikirkan, bahwa akan dimasukkan di bagasi atau simpan di bagian tas paling bawah. Kawan kami menitipkan tas koper untuk dibawa ke Indonesia, dan Ratih sempat berpikir lotion itu dimasukkan kesana. Tapi kami lalai.. bahkan hingga fanny membuka koper itu dan bertanya apakah ada barang yang akan dimasukkan.
Pemeriksaan pertama, saya lolos. Ratih tertahan karena belum melengkapi stempel khusus. Saya menunggu. Hingga melewati imigrasi, aman. Pintu terakhir adalah si ‘X-Ray’, dan kamipun seketika diminta untuk membuka tas. Saya dan Ratih pucat, sambil mikir. Saya mengingat si lotion, dan Ratih ternyata diharuskan mengeluarkan botol air mineral. Lotion diitahan sesuai dengan peraturan batas cairan 125 ml. dan saya punya 6 botol lotion L petugas itu memperingatkan bahwa lotion itu bisa dimasukkan ke bagasi, tapi harus dengan bagasi baru dan waktunya tinggal 5 menit lagi. Saya berusaha menghubungi fanny untuk menitipkan lotion, sayangnya pulsa tidak mencukupi. Tdk ada upaya lagi yang bisa dilakukan selain mengikhlaskan lotion itu. Ikhlas. Harus.

Sedih. Kesal. Petugas itu mencoba berempati, bertanya apakah kami pelajar. Saya menjawab dengan ketus, dan seolah ingin menunjukkan kalau saya marah saya pun bertanya apakah air mineral itu bisa diminum atau tidak, petugasnya mengiyakan. Di depan petugas itu, saya langsung meminum minuman tersebut, sempat menawari ratih tapi dia sudah tidak berselera, dan akhirnya saya menghabiskan minuman itu persis di depan mata petugas dan menyerahkan botol kosong itu ke petugas. Hahahahhahahaha…. Selamat tinggal lotion, takdir tidak mengizinkan lotion itu sebagai oleh-oleh.

Beberapa menit sebelum berangkat, kami mencoba menertawakan diri. Sedih pasti, tapi mau diapain lagi. Kami pun memilih untuk berpikir positif, mungkin memang lotion itu tidak ditakdirkan menjadi oleh-oleh. Tak cukup 6 botol untuk keluarga besarku, khawatir akan terjadi saling iri dan percekcokan hhehehhe :D
Ibaratnya, jika dikaitkan dengan pulang dan Mati. Lotion ini seperti amalan yang kita anggap sebagai bekal (oleh-oleh) terbaik. Ikhtiar sudah, tetapi lupa dengan prosedur. Tuhan mungkin tidak ridho, jadi amalan itu tidak diterima. Syukurnya, selain lotion.. masih ada bekal lain dalam bentuk gantungan kunci, makanan, kaos-kaos, ratusan foto menarik dan berbagai cerita dan pengalaman selama perjalanan… perbanyaklah bekal dan amalan baikmu, karena kita tak pernah tau, bagian mana yang sudah benar dan diterima Tuhan.
Panggilan ke pesawat pun membuyarkan lamunan. Benar-benar sudah akan pulang. 2 jam kemudian insya Allah akan tiba di Bandung tercinta :)

Jadi ingat tentang ungkapan seorang teman, tentang perjalanan yang bikin ‘nagih’… yaaa… nagih banget, entah mimpi apa berikutnya yang akan membawa kami, saya ataukah hanya Ratih ke tempat lain berikutnya… kata teman itu lagi, ‘mgk orang lain senang shopping… belanja barang dll, kita beda… kita berbelanja, membeli pengalaman, membeli cerita yang mungkin saja menarik untuk diceritakan ke anak cucu…nanti’.

Entah karena terpengaruh ceritaku akan kereta Trans-Siberia selama perjalanan, 2 minggu setelah kami kembali ke Indonesia, Ratih bermimpi lagi. Katanya kami berada diatas suatu kereta… yang di dalamnya ada kamar-kamar, mini resto… let see, biarkan Tuhan memeluk mimpi-mimpi itu…

 …See you in next journey :) kami pulang untuk menyiapkan bekal untuk pergi lagi…

Senin, 20 Januari 2014

Journey Part 6



Hari terakhir akan meninggalkan Bangkok, kami memanfaatkannya untuk berbelanja oleh-oleh di cathuchak.
Setelah berpamitan dengan bapak yang punya penginapan, kami pun bergegas ke stasiun Hualampong untuk menyimpan barang terlebih dahulu dan dari sana menggunakan transportasi bawah tanah (MRT). Ada hal menarik tentang ‘bapak penginapan itu’. Sejak pertama melihatnya, kami sudah yakin dan percaya bahwa dia adalah orang baik-baik hehehe. Tak banyak bicara, banyak senyum dan selalu terlihat sibuk dengan laundrynya (selain mengelola penginapan, dia pun mmembuka usaha laundry). Diatas jam 9 malam, dia sudah menutup pintu pagar penginapan tersebut, tetapi kami tetap diberi kesempatan melalui salah satu bagian pagar yang tidak dikunci. Setiap pulang malam, kami tidak pernah melihatnya. Hening, tampaknya dia selalu tidur lebih awal. Mungkin dia pun hidup sendiri, karena tak ada istri maupun anak-anak yang pernah kami lihat. Di hari kedua, 3 orang backpacker sempat berbicara keras kepadanya, tanggapannya hanya diam. Kami pun tak tau pasti permasalahannya, dan segera ngacir menuju kamar. Bagaimanapun itu, semoga usaha si Bapak selalu lancar dan berkah J tak ada kata-kata saat kami pamit, dia hanya menyerahkan uang jaminan dan senyum. Hanya itu. Mungkin baginya, kami hanyalah segelintir orang yang akan selalu datang dan pergi, tapi bagi kami kamar sederhana itu cukup berkesan dan membuat kami lebih hemat :)
Kami sarapan pagi di warung muslim dekat stasiun yang ditunjukkan kawan Thailand kami kemarin. Kami bertegur sapa dengan 2 orang yang bisa berbahasa melayu. Setelah mengisi perut, kami pun langsung kembali ke stasiun dan menuju loket MRT. Takjub. Paradoks! Stasiun atas yang semrawut dan ramai berbanding terbalik dengan stasiun MRT yang luas, sepi, nyaman dan canggih. Kami terpesona, dan kembali dikagetkan dengan biaya perjalanan ke Cathucak 40 Bath, jauh dari Bus 53 yang 6.5 Bath. Tapi harga memang tidak pernah bohong, cepat dan nyaman hingga ke tujuan. Aiiihhh… kapan Indonesiaku tercinta memiliki transportasi yang seperti ini. 

Sesampainya di Cathuchak, kami mulai menjelejahi pasar dan tersesat dalam kerumunan. Satu persatu oleh-oleh kami beli dan uangpun mulai menipis :D di pasar iini ada satu warung makanan muslim, saya hanya minum the saja… setelah mengetahui harga makanan yang cukup mahal. Kami berencana untuk membeli makanan di stasiun saja untuk persiapan makan malam dan sarapan di kereta nanti. 

Sesuai dengan waktu yang direncanakan, kami pun kembali dengan cepat ke stasiun Hualampong. Membeli bekal makanan, makan pancake pisang yang dibeli dari remaja keturunan arab Thailand tampaknya hehehhe, sapa-menyapa dengan berbagai orang muslim yang kami temui di warung muslim tersebut. warung halal ini, mungkin satu-satunya yang terdekat dengan stasiun sehingga saat waktu makkan siang, warung ini sangat ramai. Kembali ke stasiun, sholat, mengambil barang dan menunggu kawan Thailand kami, si lelaki dalam mimpi Ratih. 5 menit menunggu masih yakin dia akan datang, 10 menit berikutnya mulai pesimis… dan 15 menit berikutnya kami harus segera meninggalkan mushola menuju kereta. Dia berjanji akan bertemu di depan musholla 40 menit sebelum kami berangkat tapi dia pun tidak bisa memastikan karena ada beberapa urusan. Kami memang berteman di facebook, tapi sulit untuk berkomunikasi karena si hape SMART tak tersambung lagi dengan wifi. Kami pun menuju kereta, hingga kami berangkat, dia pun tak muncul. Jadi ingat kemarin dia mematung di ujung jalan saat kami menaiki bus 53, ya sudahlah mungkin Indonesia akan menjadi pertemuan berikutnya. (belakangan saat Ratih komunkasi mengabarkan bahwa kami sudah tiba di Indonesia, dia pun menyampaikan bahwa saat itu memang datang ke stasiun tapi terlambat dari waktu yang dijanjikan).

Pukul 15.10, kereta ekonomi kami berjalan menuju Hat Yai (perbatasan Thailand-Malaysia). Semakin menjauh dari Bangkok, semakin tersadar bahwa liburan ini akan segera berakhir. Beberapa sms untukku dan Ratih terkait kantor dan Rumah menyadarkan kami akan realita di Indonesia yang akan segera dihadapi hhehehhehehe :D

Di kereta ini, kami bertemu dengan remaja cewek Thailand bernama Mee. Saat dia datang, dia langsung memborbardir kami dengan Bahasa Thai. Gaya anak gaul terlihat dari kacamata yang disimpan dikepala dan boneka yang dia bawa. Dia pun tak henti-hentinya bertelpon ria dengan seseorang diujung sana. Berulang kali kami mengatakan dalam bahasa Thai, inggris, dan bahasa Isyarat kami tak bisa bahasa Thai dan berulang kali pula dia mengajak kami komunikasi. Dia bicara, kami mendengarkan, kami pun bicara dia mendengarkan. Butuh usaha ekstra keras untuk memahami salah satu pertanyaannya tentang apakah betul kereta ini akan ke hatyai? Begitu kira-kira pertanyaannya. Karena ketika kami menjawab HAT YAI, dia langsung sumringah dan melanjutkan permbicaraan ditelpon. Kutawari dia buah mangga yang kubeli di kereta, dia pun balas menawari cemilan yang dibawa. Kupandangi cemilan itu sambil mencari label halal, tak ada. Akhirnya dengan bahasaku serta isyarat kusampaikan bahwa terimakasih banyak, saya punya mangga :D saat akan sholat pun saya mencoba menjelaskan dengan bahasa isyarat, bahwa saya akan sholat dan menghadap Tuhan. Saya khawatir dia akan bingung ketika saya mulai berganti kostum memakai mukena. Pengalaman dengan Mee ini mengajarkan bahwa bahasa isyarat ‘tarzan’ masih dapat dipahami oleh semua orang, apapun suku dan agamanya.

Esok paginya, kami tiba di Hatyai dan berpisah dengan Mee. Tak lupa saya meminta izin untuk mengambil fotonya. Dia hanya tersenyum dan segera memperbaiki rambut dan letak kacamatanya. Saat bangun di pagi hari, saya cukup kaget melihat dia yang sudah rapi dengan make up tipis. Berbeda dengan kami yang hanya cuci muka saja :D perjalanan semalam menurutku cukup berat. Sulit tidur, dengan posisi di ujung koridor dan tanpa pegangan di kursinya. Saya mencoba berbagai gaya tidur, berhasil. Ya berhasil membuat saya sakit leher. Beda dengan ratih yang tampak lelap. Diantara serangan sariawan, kantuk berat dan ombak kereta membuat saya menyimpulkan inilah salah satu perjalanan kereta yang cukup berat. Teringat saat saya dan seorang sahabat di tahun 2008 menggunakan kereta ekonomi Kediri-Bandung. Hampir samalah :D

Sesampainya di Hatyai kami banyak menjumpai wanita berjilbab. Ada mushola, banyak makanan halal, dan shower di stasiun yang gak mahal. Kami mandi sepuasnya dan berjalan-jalan di Hat Yai.
Takdir Tuhan memang selalu baik. di awal kami ingin menghabiskan akhir tahun dan mengawali tahun disini, tapi takdir membawa kami ke Penang. Hatyai sepi, seperti kota Bandung jam 2 malam. Hatyai panas dan tak banyak tempat yang bisa kami datangi dengan berjalan kaki. Kami mencoba jalan dan menggunakan peta, ternyata jarak dan panas matahari membuat kami akhirnya naik ‘angkot’ versi hatyai menuju patung budha terdekat. Disanapun sepi, hanya beberapa orang yang kami  lihat sembahyang. Syukur Alhamdulillah, Hatyai adalah surga makanan murah dan enak, kami membeli ayam goreng seharga 20 Bath plus nasi, lalap dan sambel. Nikmatnya. Tak tanggung-tanggung kami langsung membeli 4 kotak untuk makan malam kami d kereta nanti dan sarapan kami di kuala lumpur, esok pagi Insya Allah…

Tiket hatyai ke kuala lumpur jadi lebih mahal dibanding Bangkok-hatyai karena yang ada hanyalah kelas ‘bisnis’. Alhamdulillah.. aku senang memikirkan tidur nanti malam yang mungkin bisa lebih nyenyak. Sesampai di perbatasan Malaysia, Padang Besar… proses imigrasi cukup lama dan ribet. Tas kami dbongkar, syukurnya tetap selamatt hehhe…
Dalam perjalanan kereta kali ini, saya tertidur dengan nyenyak dan tanpa disangka malah Ratih yang susah tidur. Baginya tidur kemarin di kereta ekonomi lebih nyenyak.
Kami pun benar-benar telah keluar dari Thailand, Hallooo Malaysia…. Kami datang lagi :) :)

Sabtu, 18 Januari 2014

Journey Part 5


Karena mimpi Ratih tentang seorang lelaki yang bersama kami menyelesaikan perjalanan, tanpa sadar kami selalu mencari sosok itu sejak akan berangkat memulai perjalanan ini. Saat di Penang pun, ketika bertemu Bule ‘Love Lane’, kami sempat berpikir. Mungkin dialah, tapi tampaknya bukan. Di kereta menuju Bangkok kami bertemu seorang laki-laki Indonesia baik hati yang cunihin, rasanya bukan dia juga. Kami pun satu kereta dengan ‘Tong Caii’, remaja Thailand yang wajahnya seperti salah satu personil di boyband Korea. Bukanjuga.
Akhirnya, di sebuah perjalanan dengan Bus 53 di Bangkok, saya pun menyampaikan ini kepada Ratih. ‘Mungkin.. mimpi itu hanya sebagai penyemangat kita saja, lucu-lucuan aja, karena mungkin si lelaki dalam mimpi itu sebenarnya tidak ada’. Sekilas kulihat tatapan Ratih, sejenak tak mau menyerah untuk percaya bahwa mungkin orang itu benar-benar ada. Aku termasuk cukup percaya dengan mimpi-mimpi yang hadir dalam tidurku, tapi kali ini, saya tidak mau kami terlalu lama menebak. Sikap pesimis mulai muncul seiring pertumbuhan beberapa sariawan. Sedikit menganggu saat makan, tapi dampak terbesarnya adalah saya tidak bisa senyum selebar biasanya. Pesimis dan sariawan itu memang sesekali perlu hadir untuk mengingatkan betapa senyum itu adalah energi positif yang bisa mengundang sikap optimis :)

Hari kedua di Bangkok, kami sempatkan berjalan-jalan ke Grand Palace. Karena berbayar dan mahal, jadi kami hanya bisa masuk sampai di pelataran saja. berfoto di tempat yang bisa di foto, dan menggoda pak ‘polisi’ yang menjaga Grand Palace. Para polisi itu setuju saja ketika kami mengajak berfoto. Hahahahaa… kalo di Indonesia, gak pernah kayak gini. Setelah itu kami pun berniat menyeberang ke Wat Arun, tapi akhirnya memutar menuju stasiun Hua Lam Pong karena berpikir bahwa mendingan kami menuju ‘Ram Kham Heng University’ sesuai petunjuk muslimah bercadar yang kutemui di stasiun kemarin.
Sangat bersyukur ada Ratih dalam perjalanan ini. Dia sangat well prepare. Untuk ke suatu tempat dia akan melakukan ‘investigasi’ terlebih dahulu. Syukurnya hapeku yang agak ‘smart’ masih bisa diajak berinternet dengan memanfaatkan wifi di penginapan. Dia mencari jalur bus menuju kesana, dan beberapa hal yang bisa membantu kami untuk tidak kesasar. Aku adalah tipe yang menganut ajaran ‘sesat dijalan, maka bertanyalah’ hehehe… namun untuk perjalanan ke Ram Kam Heng ini cukup melankolis. Kami sudah mempersiapkan akan naik bus No sekian, tapi sesampainya di stasiun ternyata ada bus lain yang melawati kawasan itu. Yang kurang dipertimbangkan oleh kami adalah jarak penginapan kami dan ram kham heng itu. Bagi yang pernah ke Bandung, anggap saja jaraknya adalah dari Dago- Kopo saat macet (info ini kami dapatkan setelah melihat peta di kampus itu dan setelah melalui prjalanan panjang untuk kesana).
Sepanjang perjalanan, Ratih sempat bertanya kepada seorang pemuda, sayangnya kurang paham bahasa Inggris. Dia hanya menyebutkan MBK (semacam mall gitulah), yang menurut Ratih MBK itu akan kami lewati saat ke Ram Kham Heng. Syukurnya petunjuk jalan cukup baik di Bangkok ini, sehingga ketika kami melihat papan yang mengarah ke Ram Kham Heng, kami pun menjadi tenang. Kami bingung akan turun dimana, pandang-pandangan… menggunakan intuisi kami untuk akhirnya sepakat di daerah mana akan turun. Kami turun di tempat yang memang tidak terlalu jauh dari tujuan, tapi sulitnya adalah hampir sebagian orang yang kami tanyai tentang ‘ram kham heng university’ hanya menatap kami bingung. Kami pun menyederhanakan pertanyaan dengan menyebutkan ram kham heng saja, mereka mengiyakan. Alhamdulillah. University bukan kata yang populer disini, kami bingung dan tidak menemukan petunjuk.
Saat itulah kami melewati sebuah warung makan, muslim food. Halal. Kami menimbang dan berpikir apakah akan makan skrg atau setelah dari kampus itu. Sepakat untuk makan dulu, dan kami mulai diserang oleh pertanyaan pelayan dalam bahasa Thai. Disodori menu yang bertuliskan huruf Thai, kami memberi isyarat dan menyampaikan dalam bahasa Inggris. Mereka pun paham dan mengambil menu lain. hatiku sejuk melihat si ibu penjual yang jilbab dan suaminya yang berjenggot. Seketika merasa kami bukan minoritas lagi. Di warung ini pula, saya bertemu dengan ‘Tom Yam’, makanan yang membuat saya jatuh cinta akan Thailand. Rasa asam mengingatkan saya akan makanan khas di Sulawesi. Meskipun sariawan sedang menyerang, saat si Tom Yam muncul dan mulai menyentuh lidah saya, rasanya seperti apa ya… seperti berada di rumah, di peluk oleh keluarga, seolah seluruh elemen dalam tom yam itu bernyanyi dan menggelitik hati saya. Saya pun sumringah. Pertama kali makan makanan ini di Bandung, saat ulang tahun seorang dosen di resto Thailand. Dan hari ini saya memakannya di tempat asal, nikmatnya J harganya 80 Bath, sekitar Rp. 30.000, Kop Kun Kaa…

Setelah makan, kami pun bertanya lagi tentang kampus itu, seorang ibu akhirnya memahami bahasa kami dan menyampaikan ‘cross the road’. Dari tempat itu kami langsung menyeberang jembatan penyeberangan, dan mulai mencari target untuk bertanya. Setelah sekian kali bertanya, akhirnya ada seorang remaja yang kami tanya, dia memahami arti kata university dan saat itu kami tepat berada di depan kampus. Dengan ragu kami masuk, membayangkan bahwa di kampus pastinya akan banyak mahasiswa yang paham bahasa Inggris. Kami keliru, beberapa mahasiswa yang kami temui di taman tidak memahami bahasa Inggris sederhana yang kami gunakan. ‘Muslim, mosque… pray place for muslim, like WAT, Temple… lallalalalallala…’ mereka tak mengerti. Kami memberanikan diri masuk dalam satu gedung, ada seorang nenek yang sedang menunggu lift. Saya nekat bertanya, dia tak paham tapi dia mencoba membantu. Kami diarahkan ke suatu ruangan.. mungkin seperti ruang admnistrasi atau tata usaha. Penuh dengan ibu-ibu dan perempuan muda, mereka berbicara Dalam bahasa Thai, kami hanya memegang jilbab kami. Seorang ibu mencoba berbicara, yang kluar hanyalah bahasa Thai. Kami coba untuk menuliskan MOSQUE. Mereka geleng-geleng kepala. Mereka pun menyerah dan akhirnya salah seoorang ibu menunjukkan gedung lain. ahhh, berarti musholahya disitu, pikir kami.

Ternyata kami dipertemukan dengan 2 orang security (lelaki dan perempuan), ‘no english’ katanya. Dan kami pun mengulang pertanyaan kami seraya memegang jilbab. Ratih pun berbisik ‘kita pulang aja k…’, saya masih ingin bertahan ‘1 orang lagi lah..’. akhirnya 2 security itu memanggil seorang laki-laki yang sedari tadi duduk menelpon. Lelaki ini menutup telponnya dan akhirnya terlibat pembicaraan dengan 2 security. Lelaki ini hanya bisa yes dan no dalam bahasa Inggris. Tapi masya Allah hatinya seputih kulitnya, dari lelaki Thai inilaih kami diantar berjalan hampir 2 KM mungkin untuk mencapai ‘Mosque’ yang kami inginkan. Jalannya cepat, kami berusaha mengimbangi, saat itu jam 1 siang dan keringat sudah terlihat menderas dari dahinya.kami tak enak hati, berusaha untuk menyampaikan bahwa  kami saja yang jalan terus. Dia hanya memberi isyarat ‘terus… teruss…’. Setiap bertemu orang, dia mampir untk bertanya. Melalui jalan yang panjang, taman, melewati beberapa gedung, dan akhirnya naik ke lantai 2 suatu gedung. Kami mulai melihat siluet mahasiswa berkerudung. Lelaki ini tak berhenti hingga sampai di depan ‘musholla’, sampai menunjukkan tempat sholat dan mempersilahkan kami masuk. Kami tak enak hati, rasanya ucapan terimakasih kami terlalu banyak untuk orang ini. Berulang kali kami mengucapkan ‘Kop Kun Kaa’ dan membungkuk untuk memberi hormat. Kamipun mengajaknya berfoto untuk mengingat wajah orang baik ini.
Sholat disini adalah salah satu Sholat terindah dalam perjalanan kami :)

Kami dikelilingi oleh muslimah berjilbab. Sayangnya mereka sulit berbahasa Inggris, tetapi mereka bisa sedikit berbahasa Melayu. Tanpa disangka, kami diundang oleh beberapa muslimah itu. Ternyata musholla ini adalah bagian dari MUSLIM STUDENT CLUB dari Ram kham Heng University. Gedung khusus  ini untuk berbagai organisasi kampus, salah satunya adalah perkumpulan muslim ini.

Saya jadi teringat beberapa tulisan di buku dan majalah tentang ketika seorang wartawan atau jurnalis ke suatu negara, muslim disana akan menyambut dan menjamu. Rasa persaudaraaan itu sangat terasa, kami baru bertemu beberapa menit, namun tawa kami sudah menyatu. Kami dijamu dengan minuman dan cemilan. Mereka bercerita tentang Muslim Patani (sebagian besar muslim berasal dari sana). Mereka pun mengundang kami untuk menguunjungi Patani pada kunjungan ke Bangkok berikutnya. Belasan jam menggunakan kereta atau bus dari Bangkok. Mereka pun akhirnya mencari info tentang tujuan kami berikutnya, dari kampus ini kami berencana mampir ke MBK dan Siam Square, ada madame Tussaud disana dan Ratih ingin kesana. MBK mungkin bisa menjadi tempat kami membeli oleh-oleh. Mereka tidak familiar dengan tempat tersebut (mgk memang mahasiswa yang jarang main ke mall), bahkan Grand palace mereka pun tak tau. Khao San Road juga. Mereka pun akhirnya mencari dip eta google, dan kami pun sontak kaget menyadari betapa jauh jarak kampus ini dengan Khao San Road hahahahahhaa….

5 menit sebelum kami pergi, tiba-tiba seseorang masuk. Tampangnya seperti orang Jawa, ternyata inilah si Ketua Muslim Student Club Kampus ini. Dia pun tersenyum ramah dan menunjukkan antusiasme saat mengetahui kami dari Indonesia. Dia asli orang Phuket Thailand, bisa berbahasa Melayu, Sedikit bahasa Inggris dan sedang belajar bahasa Indonesia dari kamus hitam tebal yang ditunjukannya pada kami. Dia menyebutkan 2 tokoh politik islam yang terkenal di Indonesia. Dia ingin melanjutkan kuliah lagi di Indonesia, itu adalah salah satu cita-citanya . tanpa disangka, saat kami ingin pulang diapun berniat untuk mengantarkan ke depan, bahkan sampai MBK. Dan dia akan mengajak kami melalui transportasi sungai yang sebenarnya menjadi salah satu tujuan kami hari ini.

Sesaat sebelum meninggalkan MSC ini, seolah ada bisikan. Kesadaranku menyatu, mengingat sesuatu entah apa. Lelaki ini… ahaaaaaa… lelaki dalam mimpi itu kah? Akupun membisikan Sesuatu ke Ratih…’Tih… orang ini, orang ini’. Ratih bingung. Kutegaskan… ‘orang dalam mimpi’. Hhahhaha… kami pun sontak tertawa, dan sekilas kulihat mata ratih membulat, tatapannya bersemangat, adrenalinnya meningkat. Like dreams come true :D
Sepanjang jalan bersama si Ketua ini, kami hanya tersenyum membayangkan betapa panjang perjalanan untuk bertemuu dengan orang ini. TUhan seperti mengirimkan seorang ‘guide’. Saat bersama orang ini kami hanya perlu menyebutkan tujuan kami, dan dia akan sibuk untuk bertanya dan mencari. Menyeberang jalan pun diseberangin. Seolah menemukan saudara lama yang sangat baik. dia pula yang membayar perahu, memberikan penjelasan, menawarkan teh, memberi informasi dan akhirnya membawa kami ke salah satu warung makanan muslim di dekat stasiun. Sebagai seorang aktivis yang sibuk, hari itu dia pun ada acara di sore hari. Kami tak enak hati jika tak mengajaknya makan sebagai ucapan terimakasih dan akhirnya acara itu pun tampaknya di cancel setelah dia sibuk telpon sana-sini.

Awalnya hanya mengantar ke MBK dan Siam Square, tapi dia meminta untuk mengantar sampai stasiun. Kami banyak bercerita saat makan, rasanya memang sudah seperti kenalan lama. Dia berjanji untuk datang d stasiun untuk mengantar kami berangkat, tapi itu masih liat besok katanya. Kami sepakat berpisah di stasiun dan melanjutkan perjalanan dengan Bus 53, kami melihatnya berdiri mematung di ujung jalan saat kami bergegas menaiki bus. Rasanya seperti ditinggalkan sahabat, berat tapi kami masih berharap bertemu dia esoknya. Kusampaikan pada Ratih…. ‘sebenarnya, ada 2 kemungkinan… dia adalah orang yang dihadirkan untuk membantu kita, atau kita yang dtg kesiini untuk nantinya membantu dia saat di Indonesia’. Kami pun larut dengan pikiran masing-masiing, menyusun potongan perjalanan hari ini yang penuh hikmah.

Dalam perjalanan pulang, kami pun akhirnya merasakan suasana politik di Thailand yang sedang memanas. Demonstrasi d ujung jalan membuat macet dan bus 53 kami berputar arah sehingga kami terpaksa harus berjalan jauh untuk mencapai penginapan. Kelelahan itu menumpuk dengan rasa lapar. Setelah beristirahat sejenak dipenginapan, kami pun memutuskan untuk makan dan melakukan perpisahan dengan ‘roti mataba’. Aku melahap 2 porsi roti dan segelas thai tea. Nikmatnya. Setelah itu, mengunjungi toko buku itu, kami ingin berlama-lama di sana malam ini. Memandangi ribuan buku, mengintip berbagai macam bahasa disitu, menimbang-nimbang buku mana yang akan dibeli. Empunya toko ternyata memperhatikan kami sejak kemarin, dia langsung menghampiriku dan menyampaikan ‘tell me what book you want, maybe I can help’… aku tersenyum dan akhirnya nanya balik ‘what time you close?’ karena aku sebenarnya bingung mencari buku apa. ‘never mind, just enjoy’ katanya… akhirnya aku bilang mencari si Alchemist, karena 2 hari ini aku tak melihat buku itu. Dia pun langsung ke depan, mengambil buku yang dipajang di depan (padahal tadi cukup lama berdiri di depan), jreng jreng… dan langsung memberiku si Alchemist. Akupun tergoda untuk membeli.

Sudah jam 10 lewat, kami belum meninggalkan toko buku itu. Si bapak masih hilir mudik, istrinya mulai mematikan beberapa lampu. Bapaknya seolah mengatakan, gpp… jangan pergi dulu. Akhirnya dia pun menghampiri kami lagi, bertanya apakah kami mahasiswa, kenapa kami tertarik dengan buku. Akhirnya kami pun terlibat percakapan tentang buku. Saya pun bertanya tentang foto dan lukisan raja yang ada dimana-mana di sepanjang jalan, politik, merah dan kuning, dan mulailah bapak itu ‘curhat’ tentang kondisi Thailand, politik dan pendidikan. Menjual buku adalah caranya untuk mencerdaskan bangsanya. Tak lupa dia berpesan, banyak-banyalah belajar, improve your English.. dan kalau ke Bangkok lagi datanglah kesini :)


Akhirnya aku membeli The Alchemist.
Ratih awalnya mau membeli Lonely Planet ‘Kuala Lumpur-Malaysia’, tapi karena harganya lebih mahal, beralih membeli salah satu novel yang ia sukai. Hal ini membuatnya gundah gulana hingga kami sampai di penginapan.
Pesan Ratih sebelum tidur, kira-kira seperti ini: Jangan membeli sesuatu untuk tujuan ‘mengganti’ dengan sesuatu yang benar-benar kamu inginkan, karena rasanya gak enak.
Saya pun mengartikan secara berbeda: Jangan mencari cinta lain, saat kamu merasa ingin menyerah untuk cinta yang kamu perjuangkan. Lho* :p