Paradoks di Bangkok :D
Sebagai ibukota Thailand, aku
membayangkan Bangkok adalah kota yang indah dan rupawan. Pernah mendengar
informasi bahwa kota Bangkok ini tidak jauh beda dengan Jakarta.
Sesaat sebelum kereta sampai di
stasiun Hua Lam Pong Bangkok, kami cukup ‘takjub’ dengan pemandangan sampah
dimana-mana, dan bebauan ‘khas’.
Sawade Ka… Selamat datang di
Bangkok.
Selama perjalanan saya memang
senang mengkonsumsi air putih dan minuman lainnya. secara otomatis, hal ini
membuat saya ‘kaya’ akan pengalaman memasuki berbagai toilet di hampir semua
tempat yang dikunjungi. Toilet di Stasiun Kota Bangkok gak terlalu terawat
meskipun berbayar, masih lebih nyaman di toilet stasiun gambir :D
Syukur alhamdulillahnya, kejutan
pertama yang kami dapatkan di stasiun adalah kehadiran Mushollah, muslim pray,
di satu sudut yang cukup besar. Akhirnya saya pun melakukan sholat dzuhur dan
ashar secara jama’. Leganyaaaaa…. Sambutan ini cukup menyenangkan. Dan di
tempat ini pula, saya bertemu dengan muslimah bercadar yang memberikan ‘clue’
untuk perjalanan kami. Tak terencana untuk ke tempat tersebut, tapi akhirnya
menjadi salah satu tujuan utama perjalanan di Bangkok.
Setelah sholat, meskipun sudah
jam makan siang tetapi kami memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu
untuk menyimpan barang. Sesuai dengan petunjuk bule ‘love lane’ yang bertemu di
Penang, akhirnya kami mencari Bus 53. Belok kiri dari stasiun, dan bertanya
kepada pusat informasi dan beberapa tukang parkir di sebelah stasiun. Ternyata
bukan hanya kami berdua yang menuggu bus 53, seorang bule cantik pun ada
disitu. Saya pun mulai menyapa. Senasib menunggu si 53, akhirnya kami pun
berkenalan. Untuk tipe bule, dia tergolong cukup ramah karena mengajak
berkenalan, sikap tulusnya tampak dari sorot matanya. Dia hanya transit di
Bangkok, baru tiba dari Belanda dan akan melanjutkan perjalanan ke Laos.
Namanya Annemae. Cantik, baik.
kami hanya bersama selama kurang lebih 20 menit, tapi rasanya sudah kenal
sangat lama. Dia juga mendapatkan informasi tentang bus 53 dan Khao San Road.
Kami terus bercerita selama di bus. Banyak hal yang ingin saya sampaikan
padanya, namun bahasa Inggris yang jatuh bangun membuatku sering kehilangan
kata-kata. Saat seperti itu, teman kerja ‘Ratih’ sangat membantu untuk
menyumbangkan kosakata atau malah memberikan penjelasan tambahan. Seketika
teringat dengan guru bahasa Inggris ku di MTsN, tak henti-hentinya dia
menceramahi kami untuk setiap hari menghapalkan 5 kosakata bahasa Inggris :D
Kami turun di tempat yang sudah
terlihat banyak turis… pikir kami itulah Khao San Road (belakangan kami tau
bahwa itu adalah kawasan China town, dan tempatnya tidak berapa jauh dari
stasiun Hua Lam Pong, Bus itu memang ‘berputar’ dan Khao San Road pun masih
sangat jauh. Kami berpisah dengan si Bule Belanda itu, dia spontan memeluk
kami. Aku dan ratih hanya setinggi keteknya, dan ia pun membungkuk untuk tepat
memeluk kami. Saya dan ratih hanya berpandangan, sedih karena harus pisah dan
membayangkan bahwa mandi terakhir kami adalah kemarin pagi saat masih di
Penang:D
Paradoks lain di Bangkok ini,
adalah diantara pembangunan yang dilakukan dan Bangkok sebagai salah satu pintu
masuk Asia, sulit untuk menemukan warga Thailand yang bisa berbahasa Inggris.
Untuk mendapatkan informasi mengenai jalan Khao San Road saja sangat sulit,
kami bertanya beberapa kali kepada orang Thailand, namun nihil. Akhirnya kami
bertanya kepada bule, dan mereka mengarahkan untuk naik bus 53 hehehhee…
Sekitar 45 menit, akhirnya kami sampai di
jalan yang dekat dengan Khao San Road (Rambuttri). Lemas, lapar, lelah membuat
kami berjalan gontai untuk mencari penginapan. Penginapan pertama, 800 bath per
malam, yang kedua 500 bath permalam, dan akhirnya kami ke penginapan lain. sisa 1 kamar kecil kata
bapak itu dengan bahasa Inggris terbata-bata, harganya 300 Bath… hihihi, saya
coba untuk tawar 500 bath untuk 2 malam, bapak itu hanya senyum dan geleng
kepala. Tanpa berpikir panjang, kami langsung bayar.
Setelah menyimpan barang dan
merebahkan badan sebentar, kami pun langsung bergegas mencari makan. Waktu
sudah menunjukan pukul 15.30 dan kami belum makan siang. Penginapan kami
tepatnya di jl. Rambutri, keluar dari penginapan kami sudah dihadapkan kumpulan
bule yang sedang mmakan di pinggiran jalan. Makanan saat ini menjadi godaan
terbesar kami, ratusan meter ditempuh untuk mencari makanan Halal… nihil, mata
sudah berkunang-kunang. Saya dan Ratih tak sanggup lagi berbicara, mata kami
terus mencari si makanan halal. Sampai diujung jalan Khao San Road, kami tak
menemukan makanan yang tampak halal. Di pertengahan jalan kamibertemu dengan
penjual pancake pisang… sangat tergoda tapi khawatir. Setelah berjaln jauh dan
mengingat kata seorang teman ttg pancake pisang ini, kami pun memutuskan untuk
kembali, sekadar mengganjal perut yang sudah meronta-ronta. Ratih masih tampak
sangsi dengan kehalalan si pancake. Aku sudah tak bisa berpikir.
Sambil menunggu ibu itu membuat
pancakenya, aku mulai bertanya dengan bahasa ‘tarzan’, memegang jilbabku dan
menyebutkan halal food berkali-kali. Dia memberikan jawaban dengan gerakan
tangan untuk menyampaikan ‘tidak ada’. Rasanya ingin nangis aja. Beberapa detik
kemudian, si ibu pancake tiba bersuara… ahhhh…dan memberikan isyarat bahwa kami
harus lurus, dia menyebutkan ‘susi’, isyarat untuk belok kiri, dan kemudian
memberikan isyarat belok kanan dan menyebutkan ‘pizza’. Seketika energi kami
kembali. Akupun langsung melahap si pancake, Ratih hanya mencicipi karena ingin
seggera makan nasi. Karena tak ingin makan sambil berdiri, akupun memilih
pojokan untuk duduk menghabiskan pancake. Ratih melanjutkan perjalanan ke arah
yang ditunjukkan si ibu, dan kami janjian bertemu disana.
Alhamdulillah… ibu itu benar. Di
pojokan samping ‘pizza’, ada warung tenda kecil yang menjual makanan. Ibu
penjualnya menggunakan jilbab dengan baju lengan pendek. Jam 5 sore akhirnya
kami bertemu nasi, menu terakhir di tempat itu. Nikmatnya masya Allah… terimakasih Tuhan untuk menghadirkan ibu dan
bapak penjual ini, juga khusus untuk ibu pancake sebagai pemberi petunjuk.
Kami berjalan pulang dengan
kenyang dan bahagia. Kami pun bisa menikmati perjalanan pulang dengan melihat
ke sekeliling. Sampai di penginapan, langsung merebahkan diri. Mandi, sholat.
Ratih akhirnya berinisiatif untuk searching makanan halal di daerah Khao San Road.
Akhirnya nemu ‘Roti-Mataba’ di sekitar Phra Atit, tak jauh dari tempat kami
menginap. Alhamdulillah J
bahkan dalam perjalanan pulang setelah makan, kami menemukan toko buku ‘bekas
impor’ yang sangat menggoda kami untuk datang dan datang lagi…. Tempat ini
adalah salah satu yang akan kami rindukan dari Bangkok.
Hari pertama di Bangkok, penuh
dengan kejutan. Kami masih pusing dan agak ‘Train Lag’ hahahhahahaha… Malam ini
adalah salah satu tidur ternyenyak kami :D
masih ada setitik harapan semoga esok Bangkok memberi kami kejutan-kejutan
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar