Selasa, 16 Februari 2016

Semuanya Berawal dari Keluarga


Seorang ibu bertanya kepada saya, sebaiknya anak saya dikeluarkan saja dari pesantren? Saya melihat dia agak tertekan. Di tempat lain, seorang bapak berusaha meyakinkan diri untuk memasukkan anaknya ke pesantren karena ingin mencari sang penerus. Sekolah mana yang cocok untuk anak saya? Agar terhindar dari pergaulan yang tidak semestinya, anak saya sebaiknya bergaul dimana, dengan orang yang seperti apa?

Menanggapi berbagai kasus baik yang saya dapatkan di ruang praktik maupun dari lingkungan sekitar, banyak hal yang terjadi terkait dengan anak dan remaja, yang mendasari perilaku seorang anak pastinya selalu berkaitan dari lingkungan mana ia berasal, bagaimana ia dibesarkan, apa yang ia hayati dari keluarganya, dan bagaimana didikan/ pola asuh yang ia terima. 

Hal ini membuat saya cukup deg-degan, karena sebentar lagi saya akan menjadi seorang ibu, ibu yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya nanti. Pola asuh mana, yang seperti apa yang sesuai? Berbagai referensi yang saya baca selama ini membuat saya nantinya akan menjalani fase trial error dalam pengasuhan. Selain itu, konsistensi dan komunikasi dengan pasangan akan kesesuaian pola asuh harus betul-betul dijalankan. Bukan itu saja, pemenuhan kebutuhan anak baik secara fisik, psikis dan juga spiritual tentunya menjadi hal penting yang harus dipikirkan. 

Pelan-pelan mulai paham, kenapa orangtua saya dulu mendidik dengan cara yang berbeda dengan orang lain. permasalahan saya di sekolah adalah urusan saya pribadi, sehingga ketika saya mengadu orangtua hanya mendengarkan tanpa ikut campur dengan masalah di sekolah. meskipun termasuk keluarga yang cukup berada di lingkungan, saya dididik untuk menabung dan tidak selalu mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya dididik untuk berusaha dengan jualan untuk membeli barang yang saya inginkan, padahal orangtua sebenarnya mampu memberikan. Mulai paham dengan kerasnya hukuman saat melewati waktu sholat. Pertanyaan berikutnya adalah sanggupkah kita menjadi dan sebaik didikan orangtua kita?

Tampak berat untuk menjadi orangtua, tapi selalu ada harapan bagi kami untuk menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kami nanti. Membayangkan anak-anak adalah qurrotaayyun bagi orangtua, penyejuk mata dan hati, nyess rasanya…

Yuuukk belajar jadi orangtua yang terbaik untuk anak-anak kita. semoga dari lingkungan kecil yang kita bangun dengan baik, akan membentuk lingkungan yang semakin kondusif bagi anak meskipun tantangan dari lingkungan luar semakin besar dan berat di jamannya nanti.

Minggu, 14 Februari 2016

Komunikasi kami sebagai MM Relationship (Pasangan LDR)

kurang lebih beberapa bulan yang lalu, saya menawarkan kepada suami untuk komunikasi sebanyak 4 x sehari, dengan waktu subuh/pagi, siang, sore dan malam hari sebelum tidur. komunikasi wajib yang saya rasa perlu kami jalani diluar komunikasi atau telponan untuk urusan lainnya.

semuanya tidak otomatis berlangsung Lancaarrr.
di awal saya sering lupa dengan jdwal yang saya tawarkan, karena beberapa hal entah karena kesibukan di kantor atau memang benar-benar lupa hehehe. terkadang, di kondisi tertentu hal ini tidak bisa kami jalani, contohnya saat suami harus dinas di daerah yang no signal. atau sesekali saat kami 'silang pendapat' (heheh bahasanya), atau salah satu dari kami ngambek, jadilah seharian komunikasi itu terputus. terputus dalam artian tidak telponan, kadang hanya smsan untuk mengabarkan posisi.

suatu hari, suami marah sekali karena saya bangun telat dan jadinya telat pula sholat subuh. ngambek lah saya karena merasa tidak dipahami kondisinya. kami saling bertahan untuk tidak saling menghubungi seharian, hingga keesokan harinya. tapi masya Allah perjuangannya berat kaliiiiiii... semalaman gak bisa tidur dengan berbagai pikiran aneh-aneh bin lebay. bayi dalam kandungan saya pun ikut menemani keresahan saya yang gak bisa tidur. bertekad untuk tidak telat sholat subuh lagi, sampai akhirnya saya tetap bisa tertidur sekitar jam 3.30 subuh dan bangun lagi pas jam 5 untuk sholat subuh. hihihihii
ternyata bukan cuma saya yang gelisah, doi pun gelisah sehari semalam hahahaha, karena tiba-tiba ada rutinitas yang hilang. tidak ada cerita dan candaan yang biasa kami lewati setiap harinya.

sampai akhirnya kami berdua menyerah, menyerah untuk mempertahankan ego masing-masing. ajaibnya, rasa kangen itu langsung menyeruak, kami sama-sama tertawa di ujung telpon, saling menyalahkan satu sama lain sambil menertawakan diri masing-masing.

Terimakasih Allah untuk nikmat cinta yang telah Kau berikan.

Pola Pengasuhan Vs Korban Bully


Minggu ini dapat pelajaran menarik di ruang praktek.

Konsul dengan keluarga, mereka datang dari luar kota ingin mengkonsultasikan masalah anak pertama mereka yang jadi korban bully di pesantren. Anak laki-laki sulung dari 4 bersaudara, beberapa minggu terakhir mendapatkan perlakukan kasar dari seorang senior. Dia tidak bisa melawan ataupun bertahan, bahkan cerita bully disimpan rapat-rapat sampai akhirnya pada suatu hari anak ini tak tahan lagi dan menelpon ibunya untuk dipindahkan saja dari sekolah ini. di awal saya sempat kebingungan dengan solusi apa yang keluarga ini butuhkan, mencoba mendengar lagi menggunakan hati dan mempertimbangkan beberapa hal, ternyata orangtua berharap anak tetap dapat mengatasi ini secara mandiri. Orangtua sadar dengan kekurangan atau mungkin malah kelebihan dalam memanjakan dan memfasilitasi anak dengan barang-barang branded sehingga anak cukup ‘mencolok’ diantara rekan-rekannya. Pribadi anak yang pasif dan penurut juga menjadi sasaran empuk bagi pelaku bully.
Bertemu dengan si anak, ia memang terkesan kurang pede, bahkan menatap mata saya pun sesekali saja. Berbicara dengan singkat, terbatas dari apa yang ditanyakan saja. Setelah ngobrol akhirnya, saya meminta anak untuk membuat janji kesepakatan tentang apa yang akan ia lakukan. Yang pertama dia akan coba bertahan dulu di pesantren tersebut minimal sampai naik kelas II(karena pertimbangan biaya masuk dan per bulan pesantren yang ternyata cukup fantastis menurut saya). Kedua, coba aktif di bidang ekstrakulikuler silat/ tae kwon do.. minimal untuk menjaga stamina tubuh (badannnya cukup bongsor dan berisi). Ketiga, belajar untuk menatap mata orang lain saat berbicara dan mulai bergaul dengan banyak teman agar tidak mudah menjadi sasaran bully. Keempat, berani untuk melapor ke guru atau ‘bertahan’ dari serangan saat terjadi bully.
Awalnya saya pun dilema dengan keputusan untuk tidak pindah sekolah dulu dan ‘bertahan dari serangan’ saat di bully, tapi dengan beberapa pengalaman dan referensi yang saya baca, bahwasanya hal ini akan menentukan mekanisme pertahanan atau penyelesaian masalah anak ke depannya. Dia tidak mungkin untuk terus menghindar dari persoalan. Hari ini mungkin saja dia akan ‘babak belur’ dalam menghadapi perilaku bully di sekolah, tapi nanti dia bisa lebih percaya diri dan menghargai dirinya sehingga tidak ‘takut’ dengan permasalahan yang dihadapi di kemudian hari.