Minggu, 14 Februari 2016

Pola Pengasuhan Vs Korban Bully


Minggu ini dapat pelajaran menarik di ruang praktek.

Konsul dengan keluarga, mereka datang dari luar kota ingin mengkonsultasikan masalah anak pertama mereka yang jadi korban bully di pesantren. Anak laki-laki sulung dari 4 bersaudara, beberapa minggu terakhir mendapatkan perlakukan kasar dari seorang senior. Dia tidak bisa melawan ataupun bertahan, bahkan cerita bully disimpan rapat-rapat sampai akhirnya pada suatu hari anak ini tak tahan lagi dan menelpon ibunya untuk dipindahkan saja dari sekolah ini. di awal saya sempat kebingungan dengan solusi apa yang keluarga ini butuhkan, mencoba mendengar lagi menggunakan hati dan mempertimbangkan beberapa hal, ternyata orangtua berharap anak tetap dapat mengatasi ini secara mandiri. Orangtua sadar dengan kekurangan atau mungkin malah kelebihan dalam memanjakan dan memfasilitasi anak dengan barang-barang branded sehingga anak cukup ‘mencolok’ diantara rekan-rekannya. Pribadi anak yang pasif dan penurut juga menjadi sasaran empuk bagi pelaku bully.
Bertemu dengan si anak, ia memang terkesan kurang pede, bahkan menatap mata saya pun sesekali saja. Berbicara dengan singkat, terbatas dari apa yang ditanyakan saja. Setelah ngobrol akhirnya, saya meminta anak untuk membuat janji kesepakatan tentang apa yang akan ia lakukan. Yang pertama dia akan coba bertahan dulu di pesantren tersebut minimal sampai naik kelas II(karena pertimbangan biaya masuk dan per bulan pesantren yang ternyata cukup fantastis menurut saya). Kedua, coba aktif di bidang ekstrakulikuler silat/ tae kwon do.. minimal untuk menjaga stamina tubuh (badannnya cukup bongsor dan berisi). Ketiga, belajar untuk menatap mata orang lain saat berbicara dan mulai bergaul dengan banyak teman agar tidak mudah menjadi sasaran bully. Keempat, berani untuk melapor ke guru atau ‘bertahan’ dari serangan saat terjadi bully.
Awalnya saya pun dilema dengan keputusan untuk tidak pindah sekolah dulu dan ‘bertahan dari serangan’ saat di bully, tapi dengan beberapa pengalaman dan referensi yang saya baca, bahwasanya hal ini akan menentukan mekanisme pertahanan atau penyelesaian masalah anak ke depannya. Dia tidak mungkin untuk terus menghindar dari persoalan. Hari ini mungkin saja dia akan ‘babak belur’ dalam menghadapi perilaku bully di sekolah, tapi nanti dia bisa lebih percaya diri dan menghargai dirinya sehingga tidak ‘takut’ dengan permasalahan yang dihadapi di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar